2 Agustus 2015

Tips Fotografi

Trik Memotret dengan 5 Cara Membaca Cahaya

By:rian
Trik Memotret dengan 5 Cara Membaca Cahaya
Jakarta - Meningkatkan kepekaan melihat cahaya menjadi alasan penting untuk bisa meng-upgrade kemampuan memotret. Tidak sekedar melihat cahaya melalui mata telanjang melainkan mampu membaca subjek yang tertimpa cahaya seolah-olah dia sudah berada di seberang lensa.

Sebab, melihat karakter cahaya melalui lensa berarti memahami dampak yang ditimbulkan secara fotografi, emosi yang diciptakan, warna yang terekam dan komposisi yang bakal tersusun. Berbeda jauh jika melihat dengan mata telanjang yang sekedar kebutuhan optical, menyampaikan data dan pesan ke otak lalu diolah sesuai kebutuhan sehari-hari yang kompleks, bukan khusus untuk kebutuhan fotografi.

Nah, untuk melatih kepekaan cahaya itu, ada baiknya selalu meng-upgrade dengan tantangan-tantangan yang sedikit ekstrim. Yakni berada pada kondisi kontras cahaya yang keras, antara gelap dan terang yang selalu berubah-ubah dengan perbedaan yang signifikan.

Bagaimana itu?

Pertama, lihatlah sekeliling kamar atau rumah. Perhatikan perbedaan cahaya di luar jendela dengan di dalam ruangan. Perbedaan ini sangat berpengaruh pada metering ekposure di kamera.

Bila fokus pada area terang di luar rumah, maka di dalam ruangan menjadi gelap/under exposure. Sebaliknya kalau titik fokus berada di area gelap di dalam ruangan, maka foto yang dihasilkan menjadi over exposure.

Salah satu solusi, bisa menggunakan teknik bracketing atau memotret 3 hingga 5 frame sekaligus: foto under, foto medium dan foto over. Kemudian digabungkan di software sehingga menghasilkan dynamic range yang sesuai atau biasa dikenal sebagai HDR.



Gabungan 20 foto yang dijepret dari dalam mobil dengan kadar ekposure berbeda-beda.
Solusi lain bisa menggunakan lampu tambahan atau reflektor untuk memberi cahaya pada titik-titik gelap. Tentu dengan kualitas cahaya yang proporsional sehingga perbedaan ekposrue yang tajam bisa terminimalisir.

Lakukan trik ini beberapa kali hingga mata terbiasa melihat perbedaan cahaya dengan cepat dan efektif. Latih di beberapa spot berbeda untuk meningkatkan kemampuan teknis maupun konsep soal cahaya dan bayangan: apakah perlu dramatis, lembut, keras atau hangat.

Kedua, memotretlah sambil naik kendaraan atau membonceng sepeda motor. Pada saat itu usahakan kamera terus mengokang dan membidik apa-apa saja yang dilintasi atau berpapasan. Lakukan dengan santai seperti sedang nak ojek atau terjebak macet di jalanan.

Cara ini membuat kemampuan reflek mata bekerja maksimal yaitu menangkap momen di waktu yang sangat cepat dengan kondisi cahaya berbeda-beda. Bisa saja yang akan dijepret sedang terkena bayangan gedung, pohon atau tiba-tiba langit berawan. Atau sebaliknya, subjek dan pemotret yang sama-sama melintas sedang berada pada kondisi cahaya melimpah dengan terik matahari.

Solusinya bisa mengabaikam mode manual terlebih dahulu. Kemudian fokus pada mode speed priority dengan ISO sedang (antara 200 hingga 800). Pastikan titik fokus berada di tengah dan membiarkan kamera bekerja otomatis untuk mengatur metering ekposure dan aperture. Oh iya, sebisa mungkin gunakan continues shoot untuk membidik subjek dengan cepat sehingga mendapatkan pilihan momen yang pas.

Ketiga, hunting foto saat 'twilight' atau pergantian cahaya dari siang ke malam atau sebaliknya, dari malam ke siang (subuh). Pada momen seperti ini cahaya matahari akan membuat gradasi warna yang lembut atau sebaliknya cukup kontras tergantung langit cerah atau berawan.

Manfaatkan perbedaan cahaya untuk merekam tekstur dengan apik membuat siluet atau bergaya ngeflare. Jika beruntung, dapat memperoleh sidelight atau backlight sekaligus untuk membentuk garis dan bentuk yang harmonis.



Gabungan 20 foto yang dijepret dari dalam mobil dengan kadar ekposure berbeda-beda. (Foto: Ari Saputra/detikINET)
Foto-foto landscape, arsitektur dan urbanphotography kerap memanfaatkan momen-momen twilight untuk menghasilkan foto yang menumental. Yakni mengawinkan kualitas ekposure dengan kekuatan drama dan narasi kuat dari setiap foto-foto yang dihasilkan.

Keempat, memotret baliho, papan reklame atau displai toko yang menarik pada kondisi semua lampu neonbox dinyalakan. Bisa siang hari seperti di dalam mall atau di luar ruang saat malam hari.

Apa tantangannya? Neonbox atau papan reklame yang menyala terang itu berpotensi overexposure jika ada subjek lain di depannya. Nah mencari metering yang tepat antara baliho dan sesuatu yang di depannya menjadi pekerjaan yang sedikit rumit namun mengasyikan.

Rumit karena bisa membuat pilihan-pilihan siluet yang ekstrim sekaligus mengasyikan lantaran gambar-gambar baliho yang colorfull atau over exposed (berukuran raksasa). Biasanya digunakan oleh para penyuka streetphotography untuk membuat narasi yang kontras dan penuh pesan sindiran yang terkadang menohok.

Kelima, masuklah pada bangunan-bangunan megastruktur seperti stasiun, bandara, taman botani, atau masjid dengan ukuran tidak lumrah, besar dan superlatif. Beberapa tempat yang biasa dijadikan sasaran memotret yakni Stasiun Beos Kota Tua, bandara Hongkong, taman botani Garden Bay the Bay hingga Masjid Istiqlal.

Di tempat-tempat tersebut, ilusi optical bekerja maksimal. Tidak lain karena struktur bangunan dibuat para arsitek profesional hingga menghasilkan refleksi cahaya yang menarik dan sensasional.

Datanglah pagi-pagi saat pengunjung sepi atau saat ramai sekalian untuk menemukan kesan kolosal di tempat tersebut. Atur metering dan titik fokus pada spot-spot yang mampu merekam cahaya dengan atraktif. Para fotografer kerap memanfaatkan cahaya samping dan belakang untuk membuat 'tipuan visual' yang lebih menarik secara fotografi.

Selebihnya, lakukan dengan cara kreatif dan secara berkala. Lama-kelamaan mata bakal terlatih dan peka untuk membaca cahaya sehingga mampu bermain ekposure dengan ciamik.

Display pamer di Museum 911, Manhattan, New York. (Foto: Ari Saputra/detikINET)

0 komentar:

Posting Komentar